Pesta
hari itu sangat meriah, seluruh penduduk Negeri Upsus, di pinggiran Kota Amman,
Yordania, berpesta pora. Hidangan melimpah ruah. Ada riwayat yang
mengungkapkan, peristiwa itu berlangsung puluhan tahun setelah zaman Nabi Isa.
Di zaman Islam, Negeri Upsus berganti nama menjadi Tharsus.
Sejumlah patung dan berhala itu
tak cuma dihias, tapi juga dipuja, dihormati dan disembah seolah-olah benda
mati itulah yang telah memberikan segalanya kepada mereka. Mereka memang pemuja
berhala, agama warisan nenek moyang.
Di antara ribuan orang itu, tampak seorang pemuda kaya yang
salah tingkah. Dalam hatinya ia tidak mau mengikuti ritus pemujaan berhala,
tapi ia tak berani berterus terang. Ia tak habis pikir, mengapa patung buatan
manusia itu disembah sendiri oleh pembuatnya.
Agar tidak menarik perhatian, dia menyingkir ke suatu tempat
tak jauh dari pusat keramaian, berlindung di bawah sebatang pohon rindang. Saat
itu suhu udara memang sangat panas. Ia mendongakkan kepala, melihat dedaunan,
awan yang bergerak dan menggelantung di langit, sementara matahari terus
memancarkan cahayanya.
Keberadaan benda-benda di atas kepalanya itu mengusik
hatinya. Pohon tempat ia berteduh tersebut pasti butuh air untuk tumbuh, “Tapi
bagaimana ia bisa mengisap air? Itu semua pasti ada yang membuat, tapi pasti
bukan manusia. Siapakah yang membuat semua itu?” tanyanya dalam hati.
Tengah termenung seperti itu, ia dihampiri seorang pemuda
kaya yang lain. Agaknya pemuda itu mempunyai problem yang sama. Dan tak lama
kemudian datang lagi lima pemuda lain dengan kegalauan yang sama. Merasa
senasib dan sependeritaan, mereka pun berdiskusi. “Siapakah gerangan pencipta
benda-benda di sekitar kita, selain patung yang disembah itu?”
Hampir setiap hari mereka mencoba mencari jawaban atas
pertanyaan yang rumit tadi. Hari-hari mereka dihabiskan untuk menyepi. Pada
saat itulah Allah SWT membimbing mereka untuk bermunajat kepada-Nya. Tapi lama
kelamaan perilaku mereka diketahui oleh Raja Upsus. Raja yang sangat zalim itu
berniat menghukum mereka seberat-beratnya. Raja menganggap, mereka telah
menyeleweng dari ajaran agama nenek moyang. Mereka harus ditangkap dan
digantung!
Merendahkan Martabat
Ketujuh pemuda (Ashabul Kahfi) itu ditangkaplah. Tapi di
hadapan Raja, mereka tidak bisa bilang apa-apa karena mereka sendiri sedang
mencari jawaban atas pertanyaan yang sangat rumit. Namun Allah telah menetapkan
hati mereka dengan keteguhan iman, sehingga mereka berani berkata dengan tegas.
“Para penyembah berhala tidak punya pikiran sehat. Mereka hanya meniru, tidak
pernah menggunakan akal sehat. Masa benda buatan manusia disembah sendiri?
Kalau kami menyembah berhala, berarti merendahkan martabat diri dan Raja.”
“Lebih baik kamu pikirkan dulu, jangan sembarang menjawab
pertanyaanku, pulanglah dulu, kembalilah lagi minggu depan,” ujar Raja.
Sejak itu ketujuh pemuda tersebut lebih sering lagi bertemu
untuk membicarakan perintah sang Raja. “Kalau kita kembali istana, berarti sama
saja dengan menyerahkan nyawa. Lebih baik kita pertahankan pendirian dengan
segala daya upaya. Kita harus menyingkir, entah kemana,” kata mereka
bersepakat. Maka mereka pun memutuskan pergi ke sebuah tempat dan bersembunyi
di sana.
Tanpa sepengetahuan Raja dan keluarga masing-masing, mereka
pergi ke hutan, mendaki gunung, mencari gua yang bisa digunakan untuk
bersembunyi. Di tengah perjalanan, mereka disusul oleh seekor anjing milik
salah seorang dari mereka. Anjing inilah yang kemudian menjaga di mulut gua
ketika gua itu telah ditemukan dan dijadikan sebagai tempat persembunyian.
Kebetulan di dalam gua itu ada pohon yang rindang dan sebuah
mata air. Ke sanalah mereka melepaskan penat setelah berjalan berhari-hari
sambil menyantap buah-buahan dan minum dari mata air itu, setelah itu mereka
tidur lelap karena kelelahan.
Ternyata mereka tidur nyenyak sekali, sehingga tidak
merasakan apa yang terjadi di sekelilingnya. Mereka baru terbangun ketika sinar
matahari menerobos gua dan memancarkan sinarnya yang hangat menyengat tubuh
mereka. Dan ketika kemudian mereka bangkit, ternyata keadaan di sekeliling
telah berubah sama sekali. Bahkan anjing sang penjaga pun sudah tak dapat
mereka temukan, raib entah kemana.
“Rasanya kita baru tidur setengah hari,” kata salah seorang
di antara mereka. “Ketika kita tadi tidur masih pagi, tapi sekarang matahari
masih juga di atas sana.”
“Namun kalau kita rasakan laparnya, rasanya kita sudah tidur
seharian,” ujar yang lain.
“Sebaiknya kita tidak bertengkar,” kata yang lain lagi,
“lebih baik kita cari makanan di luar. Siapa yang mau keluar? Tapi, harus
berhati-hati agar tidak diketahui orang lain atau tentara Upsus, mereka pasti
masih mencari-cari kita.”
Dengan perasaan waswas, salah seorang dari tujuh pemuda itu
memberanikan diri keluar dari gua untuk mencari makanan. Dia heran, sebab Kota
Upsus telah berubah total sehingga tidak bisa dikenal lagi. Namun kelaparan mengharuskan
dia terus berjalan.
Ketika sampai di sebuah pasar, ia minta dibungkuskan
makanan, namun ketika membayar, ditolak, karena uangnya idak dikenal. “Ini uang
kuno, tiga abad yang lalu,” kata si penjual makanan, “Sekarang sudah tidak
berlaku lagi,” tapi si penjual masih berbaik sangka. Ia mengira si pembeli
menemukan uang kuno. Justru si pembeli yang ngotot, bahwa uang itu baru
diterimanya kemarin dari keluarganya.
Akhirnya terjadi keributan, sehingga menarik perhatian orang
lain dan jadi tontonan orang banyak. “Ada orang purba keluyuran di jalanan,”
pikir mereka. Karena ketakutan pemuda itu berusaha melarikan diri, tapi dicegah
oleh banyak orang. Mereka berpikir pemuda itu pasti punya harta karun yang
lain.
Akhirnya pemuda itu bercerita kepada orang-orang yang
mengerumuninya, katanya ia dan teman-temannya terpaksa bersembunyi di dalam
gua, karena terancam akan dibunuh oleh Raja Upsus sehubungan dengan
keyakinannya yang tak mau menyembah berhala.
Tapi bagi orang-orang yang
mengerumuninya, cerita itu telah menjadi dongeng, karena telah berlangsung
lebih dari tiga abad yang silam.
“Jangan khawatit, ujar salah seorang dari orang-orang yang
mengerumuninya itu. “Raja Upsus yang zalim, yang kamu ceritakan itu, telah
meninggal 300 tahun yang silam. Sedangkan Raja kami yang sekarang orangnya
beriman seperti kamu, alim dan bijaksana. Bawalah teman-temanmu kemari untuk
menghadap Raja.” Si pemuda pun baru sadar, dia dan keenam temanya telah
menghuni gua – dalam keadaan tidur – selama tiga abad. Rentang waktu tidur
tujuh orang manusia yang tak terbayangkan.
Ketika berita itu sampai kepada Raja Upsus, ia menyatakan
bersedia menyambut mereka bertujuh di Istana. Maka, mereka pun disambut laksana
tamu agung, dan mendapat tempat yang layak di Istana. “Kami bersyukur, rakyat
dan Raja Upsus adalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT,” kata mereka.
“Kami doakan, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada Raja dan negeri
Upsus dan mengizinkan kami kembali ke haribaan-Nya.”
Dan tak lama kemudian, mereka menghembuskan nafas terakhir
dalam keadaan tenang, setenang-tenangnya. (Al-Kahfi: 9-26).
Ashabul kahfi (penghuni-penguni gua) yang dimaksudkan dalam
ayat di atas, menurut para ulama’- terdiri dari tujuh orang pemuda iaitu;
Maksalmina
Tamlikha
Martunus
Bainunus atau Nainunus
Sarbunus
Dzunuanus
Kasyfitatanunus
Maksalmina
Tamlikha
Martunus
Bainunus atau Nainunus
Sarbunus
Dzunuanus
Kasyfitatanunus
Tidak ada komentar: