Rukun iman ada 6 perkara:
1.Iman kepada Allah
2. Iman kepada malaikat Allah
3. Iman kepada kitab-kitab Allah
4. Iman kepada nabi dan rasul Allah
5. Iman kepada qadha dan qadar
6. Iman kepada hari kiamat
Salah satu rukun iman yang wajib kita pegang teguh adalah
beriman kepada qadha dan qadhar. Sebagian lagi mengatakan beriman kepada takdir
baik maupun takdir buruk.
Nah., kali ini saya akan mencoba mengupas apa itu yang di
maksud dengan iman kepada qadha dan qadar. Baiklah tanpa perlu berbasa basi
panjang lebar lagi mari kita langsung cari tau apa si Qadha dan Qadar itu???
Qadha secara bahasa berarti hukum-hukum Allah.
Kata “qadha” yang bermakna hukum terdapat dalam firman Allah
SWT,
“Demi Tuhanmu, (Muhammad), mereka tidak dianggap beriman
hingga mereka mejadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak menemukan di dalam dirinya suatu keberatan terhadap suatu
hukum (Qadha) yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS.
An-Nisa: 65).
Secara istilah, qadha adalah hukum Allah yang berlaku dan
terterapkan semenjak awal waktu penciptaan makhluk, atau biasa disebut sejak
zaman azali.
Sedangkan qadar dalam Alquran berarti suatu
peraturan umum yang telah diciptakan Allah untuk menjadi dasar alam ini, yang
mana terdapat di dalamnya hubungan sebab akibat yang telah
menjadi sunnatullah (ketetapan Allah) yang abadi di mana
pun sunnatullah itu berada.
Allah berfirman, ”Sesungguhnya kami telah menjadikan segala
sesuatu menurut ukuran (bi qadar)” (QS. Al-Qomar: 49).
Qadha itu adalah rumusan-rumusan Allah secara global,
Qadar/taqdir adalah rumusan-rumusan Allah yang terinci atau rinciannya,
Sering terdengar bahwa jodoh, rizki dan mati adalah taqdir
Allah, padahal semua yang terjadi di dunia ini adalah taqdir (rumusan-rumusan)
dari Allah. Seringkali kita baru katakan itu taqdir kalao kita mendapat
musibah, padahal apabila kita mendapat kesuksesan dan kebahagiaan itu juga
taqdir dari sekian taqdir yang kita pilih.
Rumusan-rumusan Allah itu tertuang dalam Lauhil
Mahfudh yang mencakup rumusan Qadha dan Qadar/Taqdir tadi. Jadi Lauhil Mahfudh
adalah ibarat sebuah prasasti yang menyimpan ilmu-ilmu Allah yang terpelihara.
Segala
sesuatu sejak awal terciptanya Qalam sampai tiba hari Qiyamat telah tertulis di
Lauh Mahfudz, karena sejak permulaan menciptakan Qalam Allah telah berfirman
kepadanya : "Tulislah", Dia (Qalam) bertanya : "Wahai Rabb-ku,
apa yang harus aku tulis?" Allah berfirman : "Tulislah segala sesuatu
yang terjadi". Kemudian dia (Qalam) menulis segala sesuatu yang terjadi
sampai hari kiamat. Juga diriwayatkan dari Nabi :
Sesungguhnya janin yang ada dalam kandungan ibunya ketika
telah melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus Malaikat kepadanya yang
meniupkan roh dan menulis rizqi, ajal, amal dan apakah dia celaka atau
bahagia".
Rezqi juga telah tertulis dan ditakdirkan beserta
sebab-sebabnya, tidak bertambah dan tidak berkurang. Sebagian dari sebab-sebab
(rezqi) adalah pekerjaan manusia untuk mencari rezqi, sebagaimana firman Allah
:
Dia (Allah) adalah Tuhan yang telah menjadikan bumi tunduk
(kepadamu), maka berjalanlah dia atas pundaknya dan makanlah sebagian rezqi-Nya
dan kepada-nyalah tempat kembali" [Al-Maidah : 15]
Sebagian dari sebab-sebab rezqi lagi adalah menyambung
persaudaraan (sillaturrahim), termasuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan
menyambung hubungan keluarga, karena Nabi telah bersabda. Barangsiapa ingin
dilapangkan rezqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung
persaudaraan (sillaturrahim).
Sebagian sebab-sebab rezqi lagi adalah bertaqwa kepada
Allah, sebagaimana firman Allah. Barang siapa bertaqwa, maka Dia akan
menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezqi dengan tanpa
disangka-sangka" [Ath-Thalaq : 2-3]
Doa dapat mengubah taqdir.
Allah berfirman Dia mampu menghapus apa yang sudah
ditetapkan.
nah dengan Doa itulah taqdir kita akan berubah. Tapi sistem global
Allah tetap tidak akan berubah.
Mari kita ambil sebuah ilustrasi tentang seseorang yang mencoba menjatuhkan dirinya dari atas sebuah gedung bertingkat tinggi ke sebuah batu marmer yang keras.
Target Orang tua itu berkata, “Kalau memang sudah
ditakdirkan mati, maka saya akan mati. Dan jika ditakdirkan hidup, pasti saya
akan tetap hidup.”
Sungguh orang ini telah keliru besar memahami persoalan takdir.
Allah SWT telah mempunyai takdir-takdir paksaan dalam
masalah ini dan juga punya takdir ikhtiar di sisi yang lain.
Adapun takdir paksaan dalam masalah ini adalah:
1. Qadha dan qadar Allah telah menjadikan marmer sebagai
batu keras dan kuat</p>
2. Tengkorak kepala manusia diciptakan (berdasarkan qadha
dan qadar Allah) dari tulang yang lembut dan berpotensi untuk pecah.
3. Qadha dan qadar Allah telah menetapkan adanya hukum
gravitasi yang akan membuat benda jatuh ke tanah.
4. Qadha dan qadar Allah memutuskan bahwa setiap orang yang
melemparkan diri dari ketinggian ke tanah yang keras, niscaya tulangnya akan
hancur berantakan dan otaknya berhamburan keluar.
5. Qadha dan qadar Allah juga memutuskan bahwa setiap
manusia harus mati ketika otaknya hancur.
6. Qadha dan qadar Allah jua telah memutuskan bahwa manusia
mempunyai kehendak dan ikhtiar/pilihan. Ia bisa menjatuhkan dirinya lalu mati,
atau menahan diri untuk tidak melakukan bunuh diri itu, lalu turun menuruni
tangga dengan selamat.
Hadis riwayat dari Ibnu Nabatah, bahwa Ali bin Abi Thalib,
pernah pada suatu hari berpindah dari satu tembok ke tembok yang lain. Para
sahabat menegur beliau, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha
Allah?” Imam Ali menjawab, “Saya lari dari qadha Allah menuju qadar Allah Azza
wa Jalla..
Tingkat lanjut
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya :
"Apakah perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di Lauh Mahfudz ?
Apabila benar, maka bagaimana Allah menyiksa mereka ..?"
Jawaban.
Benar, perbuatan orang-orang kafir telah tertulis sejak
zaman azali, bahkan perbuatan semua manusia telah tertulis sejak dia berada di
perut ibunya, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih dari Abdullah bin Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu ia berkata ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang
benar lagi dibenarkan) bercerita kepada kami.
"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara kamu
dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari berbentuk
nutfah, kemudian menjadi 'alaqah selama empat puluh hari pula, kemudian menjadi
mudhghah selama empat puluh hari pula. Lalu diutuslah kepadanya seorang
malaikat, dan diperintahkan dengan empat kalimat untuk menulis rezekinya,
ajalnya, amalannya, celaka atau bahagia".
Maka perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di sisi
Allah Azza wa Jalla, telah diketahui oleh Allah 'Azza wa Jalla sejak zaman
azali dan orang yang berbahagia telah diketahui pula oleh Allah sejak zaman
azali. Akan tetapi barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana mereka akan
diadzab padahal Allah telah menetapkan atas mereka akan hal itu sejak zaman
azali.?
Jawaban kami.
Mereka disiksa karena hujjah telah sampai kepada mereka,
jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para rasul telah diutus kepada mereka,
kitab-kitabnyapun telah diuturunkan. Juga telah dijelaskan petunjuk dan
kesesatan dan mereka diberi motivasi untuk menempuh jalan petunjuk, sekaligus
menjauhi jalan yang sesat. Mereka memiliki akal dan kehendak ; mereka memiliki
kemampuan untuk berikhtiar. Oleh karena itu kita mendapati orang-orang kafir
ini dan juga selain mereka, berusaha meraih kemaslahatan dunia dengan kehendak
dan ikhtiarnya. Kita tidak mendapati seorangpun dari mereka berupaya meraih
sesuatu yang membahayakan di dunia atau meremehkan dan bermalas-malasan dalam
perkara yang bermanfaat baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis
sebagai jatahku. Maka selalunya setiap orang akan berusaha meraih manfaat bagi
dirinya. Dengan demikian, seharusnya mereka berusaha meraih manfaat dalam
urusan-urusan agama mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat
dari urusan dunianya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya, bahkan penjelasan
tentang kebaikan dan keburukan dalam urusan agama di dalam kitab-kitab suci
yang diturunkan kepada para rasul lebih banyak dan lebih besar daripada
penjelasan tentang urusan-urusan dunia. Maka kewajiban mereka adalah menempuh
jalan yang menghatarkannya kepada keselamatan dan kebahagiaan, bukan menempuh
jalan yang menyerempet mereka pada kebinasaan dan kesengsaraan.
Kemudian kami katakan, ketika si kafir memilih kekafiran
sama sekali tidak merasa ada orang yang memaksanya. Bahkan perasaannya
mengatakan bahwa bahwa ia melakukan hal itu dengan kehendak dan ikhtiarnya.
Maka apakah ketika memilih kekufuran ia tahu apa yang telah ditetapkan Allah
untuk dirinya .? Jawabannya, tentu tidak. Karena kita tidak mengetahui bahwa
sesuatu telah ditetapkan terjadi pada kita kecuali sesudah terjadi. Adapun
sebelum terjadi, kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk kita
karena hal ini termasuk perkara ghaib.
Selanjutnya, sekarang kami katakan kepada orang itu :
sebelum terjerumus kepada kekafiran, di depan anda ada dua perkara ; hidayah
dan kesesatan. Lalu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah dengan anggapan
bahwa Allah telah menetapkannya untukmu ? Mengapa anda menempuh jalan sesat
lalu setelah menempuhnya anda beralasan bahwa Allah telah menetapkannya ? Kami
tegaskan kepada anda sebelum memasuki jalan ini ; apakah anda mempunyai
pengetahuan bahwa hal ini telah ditetapkan kepadamu ? ia pasti menjawab :
"Tidak". Dan mustahil jawabannya : "Ya". Jadi apabila ia
mengatakan : "Tidak". Kami tegaskan lagi ; kalau begitu mengapa anda
tidak menempuh jalan hidayah seraya menganggap bahwa Allah telah menetapkan hal
itu kepadamu. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling dari
kebenaran, Allah memalingkan hati mereka" [Ash-Shaf : 5]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah).
Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang
terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar"
[Al-Lail :5-10]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu para
sahabat bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah dicatat tempat duduknya di
jannah dan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya ; wahai Rasulullah,
apakah kami boleh meninggalkan amalan dan bersandar pada apa yang telah
ditetapkan ? Beliau bersabda.
"Artinya : Tidak, beramallah kelian, karena tiap-tiap
orang dimudahkan kepada sesuatu yang diciptakan baginya"
Sesudah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca
firman Allah.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka
kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang
yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik.
Maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar".
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "
Tentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Sesungguhnya seseorang
selalu beramal dengan amalan ahli jannah sehingga tidak ada jarak antara dirinya
dengan jannah kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya
sehingga ia melakukan amalan ahli neraka, lalu iapun memasukinya. Dan seorang
yang senantiasa beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak
antara dirinya dengan neraka kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah
mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalan ahli jannah dan iapun
memasukinya".
Apakah hadits ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala :
"Sesungguhnya kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang membaguskan
amalannya" [Al-Kahfi : 30]
Semoga Allah merahmatinya- dengan ucapannya : Ini adalah
hadits Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. Di dalamnya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa ada seseorang yang beramal dengan amalan
ahli jannah sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan jannah kecuali hanya
sehasta, karena dekatnya ajal dan kematian dirinya. Namun ketetapan telah
mendahuluinya yang menegaskan bahwa ia termasuk penghuni neraka, hingga iapun
melakukan amalan ahli neraka, lalu masuk kedalamnya- kita berlindung kepada
Allah daripadanya. Ini adalah fenomena yang nampak pada manusia seperti yang
dijelaskan oleh sebuah hadits shahih.
"Artinya : Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan
ahli jannah dalam pandangan manusia, padahal ia termasuk ahli neraka"
Demikian pula persoalan kedua, manusia yang beramal dengan
amalan ahli neraka, lalu Allah memberi karunia kepadanya dengan taubat dan
kembali kepada jalan Allah menjelang ajalnya, hingga iapun beramal dengan
amalan ahli jannah lalu ia masuk kedalamnya.
Ayat yang disebutkan oleh penanya tidak bertentangan dengan
hadits di atas, karena Allah Ta'ala berfirman : "Pahala orang yang
membaguskan amalannya" Maksudnya, barangsiapa yang membaguskan amalannya
di dalam hati maupun dhahirnya, maka Allah Ta'ala tidak menyia-nyiakan
pahalanya. Tetapi yang dimaksud oleh kasus pertama yang beramal dengan amalan
ahli jannah lalu ketetapan telah mendahuluinya, adalah orang yang beramal
dengan amalan ahli jannah dalam pandangan manusia saja. Atas dasar ini,
amalannya tidak termasuk kebaikan. Dengan demikian hadits tadi tidak
bertentangan sama sekali dengan ayat Al-Qur'an.
Wallahul Muwafiq
Di rangkum dari berbagai sumber demi pemahaman dan pengetauan kita
bersama.,
Semoga Bermanfaat!!
Semoga Bermanfaat!!
Tidak ada komentar: